PURWOKERTO, GEMABANTEN.COM – Triwijanto, A.K.S., M.Si dari Kementerian Sosial (Kemensos) akan tampil membahas “Kompol II R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesoemo dan Gelar Pahlawan Nasional” dalam seminar sehari di Purwokerto, Jawa Tengah (Jateng), Senin (28/11/22).
Triwiyanto yang sehari-hari bertugas pada Direktorat Pemberdayaan Masyarakat (Dit Pemas) Kemensos itu, tampil bersama dua sejarawan Dr. dr. Rushdy Hoesein Alaydrus, M.Hum (Jakarta) dan Prof. Dr, Sugeng Priyadi, M.Hum dari Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Dalam seminar bertajuk “Kepahlawanan dan Kepemimpinan Kompol II R.M.Bambang Soeparpto Dipokoesoemo” itu, Rushdy, penulis buku ”Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati”, membahas dari sisi nilai-nilai kepahlawanan. Sementara Prof. Sugeng menyajikan peran kepemimpinan Soeprapto ketika menghadapi tentara Jepang pasca Proklamasi Kemerdekaan dan Agresi Belanda.
Seminar diselenggarakan oleh Paguyuban Keluarga Besar Brimob (PKBB) Jateng di Markas Komando (Mako) Brimob 2/D Pelopor Banyumas. “Untuk mendekatkan dengan lokasi dan suasana masyarakat di wilayah gerak masa kepemimpinan perjuangan Pak Prapto. Tentu juga, agar dekat dengan generasi penerus Brimob,” ungkap AKBP. Pur, Masqudori, S.H., M.H. di Purwokerto, Kamis (24/11/22).
Undang Undang RI No. 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, antara lain mengatur tentang pemberian gelar pahlawan nasional yang dinilai telah berjasa besar terhadap bangsa dan negara RI. Terkait dengan hal itu, Masqudori, yang juga sekretaris panitia seminar mengatakan, semasa hidupnya jiwa dan raga Soeparpto didarmabaktikan untuk bangsa dan negara.
Wujud konkretnya, lanjut Masqudori, Pak Soeprapto memimpin perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI. Dalam inventarisasi panitia dan Masqudori, yang menulis buku Brimob Jateng dan DIY Dalam Lintasan Sejarah (bersama Atim dan Djumarwan, 1996) itu, sekurangnya terdapat lima momen besar yang patut dicatat dari kepemimpinan Soeprapto, yakni:
• Pertempuran Lima Hari Melawan Jepang di Semarang, 15 – 19 Oktober 1945;
• Menghadapi Sekoetoe pada Oktober 1945;
• Kontak senjata dengan Belanda dalam Agresi I di Purwokerto (1947);
• Kontak senjata dengan Belanda dalam Agresi II di Cilacap (1949);
• Menghadapi pemberontakan dalam negeri dan akhirnya terbunuh dalam tawanan pemberontakan DI/TII (April 1949).
*Bernilai Sangat Mendasar*
Bagi Suryadi, M.Si, penulis buku Brimob, Penerus Semangat Patriot (akan terbit dalam waktu dekat), kepahlawanan R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesoemo menandakan, masih banyak nama yang patut mendapat atensi karena masih belum terangkat. Khususnya, dari lingkungan Brimob Polri (kini) --sebelumnya bernama Mobril Brigade (Mobrig) dan bercikal bakal pada Polisi Istimewa.
“Pemerintah dan masyarakat perlu menginventarisasi sosok-sosok yang berjasa kepada bangsa dan negara, khususnya dalam mempertahankan Kemerdekaan RI. Ini penting,” urainya.
Terdapat nilai-nilai di balik jasa tokoh-tokoh seperti Pak Prapto, lajut Suryadi, yang telah mengantarkan generasi selanjutnya, hingga kini dapat berkiprah dan bebas memilih bidang-bidang kehidupan yang dicita-citakan.
“Jadi, sangat mendasar. Nilai juangnya patut dipetik, antara lain untuk membendung ‘racun instan’ yang masuk menumpang kemajuan teknologi, agar tak mudah menyerah. Kalau instan mengideologi, bahaya…, semua jadi mau serba mudah dan gampang didapat…,” Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu mengingatkan.
Penggalian atas nilai-nilai juang generasi Soeprapto, lanjutnya, dapat diambil dari semangat berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan. Padahal, adalah pasti bahwa saat itu, Indonesia dihadapkan pada banyak keterbatasan, termasuk persenjataan yang kalah jauh, baik jumlah maupun modernnya, dibandingkan kekuatan penjajah asing.
Apalagi, lanjutnya, pada saat itu, Indonesia berada di antara dua kekuatan yang terus mengancam kemerdekaan yang baru diproklamasikan oleh Bung karno – Bung Hatta (atas nama bangsa). Satu sisi asing, yaitu Jepang tak mau menyerah kekuasaan kepada RI dan Sekoetoe yang masuk “melempangkan jalan” Belanda (Agustus – November 1945) untuk menjajah Indonesia kembali.
Di lain sisi, lanjutnya, “bayi Indonesia” juga dihadapkan pada sejumlah pemberontakan dalam negeri di mana-mana. Misalnya, Madiun Affair (1948) dan pemberontakan terpanjang Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemberontak pimpinan S.M. Karotsowirjo di Jawa Barat ini, meluas sampai ke Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Tengah.
Kompol II Bambang Soeprapto Dipokoesoemo bersama lima orang lainnya, diketahui gugur dibunuh oleh gerombolan DI/TII pimpinan Amir Fattah di Jawa Tengah. Tepatnya di Dukuh Cisaat, Desa Pengarasan, Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Berebes, 28 Mei 1949.
Jenazah Soeparapto ditemukan dalam satu lubang kubur bersama jenazah Komandan Distrik Militer Berebes, Abdul Djalil, dan Wedana Bantarkawung, Muchayat. Jenazah Soeprapto telah dipindah-makamkan ke TMP “Giri Tunggal” Semarang. Saat itu bertindak sebagai inspektur upacara, yaitu Kolonel TNI Gato Soebroto (1951). Gatot terakhir berpangkat letjen TNI sebagai Wakil KSAD (1959 – 1952)
Pasca Perjanjian Renville (17 Januari 1948), sebagaimana catatan sejarah, telah mengakibatkan kian menciutnya wilayah kedaulatan RI. Tercipta demarkasi yang menyisakan wilayah-wilayah status quo. Kondisi ini membuat Belanda mudah melakukan pelanggaran sehingga sering memicu pertempuran pejuang Indonesia dengan Belanda.
Konsekwensi dari Perjanjian Renville, militer RI juga harus hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Di dalamnya termasuk pasukan Mobrig Karesidenan (MBK) Cirebon yang memilih bergabung dengan Mobrig Banyumas pimpinan R.M. Soeprapto.
Sepanjang kepemimpinannya, Bambang Soeprapto juga mampu mepertinggi “rasa satu korp” pasukan Mobrig. Contoh paling konkret, saat Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat seiring pengakuan kedualatan RI, terdapat anggota MBK Cirebon, yang memilih tetap bersama pasukan Soeparapto.
Mengutip Lintasan Sejarah Kepolisian RI Sejak Proklamasi – 1950 (Irjen Pol. dr. Pur. Hadiman, 1985), Suryadi menyebut nama Oding Sumardi. Sosok yang satu ini, memilih tetap bersama pasukan Bambang Soeprapto.
“Saya menduga, itu bukan cuma lantaran personalitas, tapi kepemimpinan yang efektif mengena. Ini musti digali agar tak ada ‘kesetiaan membabi-buta’, sebab tanpa keberanian dan keikhlasan tak mungkin terwujud perjuangan berkorban demi bangsa dan negara,” tambah Suryadi.**
(Red)